Tag Archives: bogor

Anak Bogor; Perias Wajah Kota dan Bapak bagi Warga Jakarta

25 Apr

Henk, Anak Bogor yang Jadi Gubernur (*)

( D. D. Layuk Allo)

Tanggal 1 Maret 1927 (seharusnya 1921, pen.), seorang anak terlahir di Bogor. Henk Ngantung namanya, Henk panggilannya. Setelah dewasa, pada usia 39 tahun, ia menjadi orang nomor dua di pemerintahan ibukota Republik Indonesia. Empat tahun kemudian (1964) ia dipercaya menjadi Gubernur Jakarta.

Gubernur Henk Ngantung dan Wagub Soewondo.
‘Pangkal asal’ dirinya, menurut Henk, adalah seorang pelukis biasa. Bermula dari pameran pertama di Manado. Lalu ke Bandung, tahun 1937 hingga 1940, ia belajar melukis, anatomi dan sejarah seni. Di Kota Kembang ia belajar secara informal dari tokoh-tokoh budaya, termasuk pada arsitek Prof. W. Schoemacher dan pelukis Affandi.

Di masa Revolusi Kemerdekaaan, ia bergabung menjadi pejuang Laskar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Sambil berjuang, ia gunakan kepandaiannya untuk membuat sketsa-sketsa yang ‘memotret’ berbagai peristiwa bersejarah, termasuk perundingan Linggajati dan Renville.

Henk, sang pelukis

Henk, sang pelukis

 

 

 

 

 

 

 

.

Tahun 1939, pameran tunggalnya mendapat apresiasi baik, termasuk dari Harian Sipatahunan. Ketika itu mulai tampak keterampilan melukisnya diperkaya oleh perhatiannya pada aspek-aspek sosial, budaya dan politik bangsa. Karya-karyanya dekat dengan realita keseharian rakyat Indonesia.

Ihwal pengangkatan menjadi gubernur diawali oleh ‘kattabeletje’ (nota) untuknya dari Proklamator Soekarno pada 1959. Bung Karno mengingatkan bahwa tujuan ‘perdjoangan’ adalah kebahagian rakyat (sebagai individu maupun bangsa). Dalam Bahasa Belanda, Bung Karno menegaskan: “Tapi apakah (rakyat) bahagia, jika sesudah (5 menit) makan, harus hidup dalam lingkungan penuh lumpur, kejelekan dan kekurangan. Biarlah rakyat berjalan-jalan dalam sebuah taman yang besar diiringi nyanyian dan lagu, dan dengan perut yang terisi!” (Karya Jaya, 1977, Pemerintah DKI Jakarta, hal. 158).

Duet pimpinan daerah paling kompak.

Duet pimpinan daerah paling kompak.

 

 

 

 

 

 

 

.

Pada 1960, Bung Karno mengangkatnya menjadi Wakil Kepala Daerah Kotapraja Jakarta Raya. Empat tahun ia menjadi pendamping Gubernur dr. Soemarno, dalam duet yang harmonis dan terbaik di seluruh Indonesia. Tahun 1964 si Anak Bogor jadi Gubernur.

“Henk…Bapak ingin kota ini jadi cantik.” Bung Karno, seorang intelek dengan pemahaman budaya dan seni yang tinggi, memang mengenal dekat dirinya sebagai salah seorang seniman Indonesia terkemuka di masa revolusi. Maka bermodal pengetahuan seni dan cita rasa estetika, Henk memberi andil pada pembangunan Tugu Nasional (Monas), patung Selamat Datang, patung Pembebasan Irian Barat, dan berbagai taman serta air mancar di Jakarta.

Diluar projek-projek ‘mercusuar’ Bung Karno, Henk harus memimpin Jakarta di tengah keterbatasan anggaran. Ia tidak kehilangan akal. Untuk mempercantik kota, ia memanfaatkan kuali-kuali besar menjadi pot tanaman di Jalan M.H. Thamrin. Kreasinya itu berdampak tumbuhnya kesadaran, pengertian serta kebutuhan akan keindahan pada masyarakat Jakarta masa itu.

Sebagai ‘Bapak’ Jakarta, Henk mementingkan kreativitas. Prinsipnya, mengusahakan ‘konvensi baru’ lewat berbagai cara inkonvensionil agar tercipta pembaruan. Ini ditunjukkannya ketika harus ‘menyulap’ pemandangan Jakarta yang penuh gelandangan, agar ‘pantas’ untuk peringatan dasawarsa Konferensi Asia Afrika.

Henk juga merintis pemikiran daur ulang dengan berkaca pada sikap dan inisiatif para pemulung dan pengepul, guna menanggulangi masalah sampah. Dengan berpikir positif dan bertindak kreatif, persoalan kota akan lebih mudah dicarikan solusinya.

Sebagai pejabat, Henk tidak mau asal menjalankan perintah (dari Bung Karno sekalipun) jika harus menginjak-injak bawahan dan masyarakat. Ia pernah menolak ide menggunakan secara paksa truk-truk swasta untuk mengangkuti sampah. Sebelumnya Pemerintah Jakarta telah menghentikan ‘aksi-aksian’ bersih sampah di pasar dengan ‘mengerahkan’ pegawai kantoran. Sebagai gantinya diambil langkah yang lebih rasional dan efektif berupa gotong-royong oleh para pemilik kios dan pedagang pasar.

Seperti pohon yang menjulang tinggi, Henk sadar akan selalu diterpa badai. Tak heran catatan-catatan masa jabatannya yang dimuat dalam Karya Jaya diberinya judul Diantara Tekanan dan Kecurigaan. Sumber terbesar tekanan semasa ia menjabat Wagub (29 Januari 1960 – 26 Agustus 1964) dan Gubernur (27 Agustus 1964 – 15 Juli 1965) adalah tuduhan yang ditiupkan para politisi yang memusuhinya.

Ia dicap sebagai seorang komunis. Tentang ini, meski tercatat sebagai anggota tak aktif dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), ia tegas menyangkal. “Kepada Sejarah Kota Jakarta…saya merasa wajib dan terpanggil untuk menyatakan hakekat jiwa dan hati saya, bahwa saya bukan orang komunis dan tidak pernah mencita-citakan komunisme.” (ibid, 189)

Gubernur Henk Ngantung dan kedua wakilnya

Gubernur Henk Ngantung dan kedua wakilnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Kenyataannya, Henk berani mengabaikan tuntutan Front Pemuda agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Ia memandang pengurus HMI di Jakarta termasuk ‘anak-anak’nya. Tak berselang lama, Henk dipecat justru pada saat PKI sedang jaya-jayanya. Sewaktu ia berobat mata di Wina (Austria), keluarlah Keputusan Presiden pada 14 Juli 1965 tentang pemberhentian dengan hormat dari jabatan Gubernur DKI Jakarta.

Henk menyatakan: “setelah perjalanan yang begitu panjang dan menempati pelbagai kedudukan tiba kembali di pangkal asal, yaitu seorang pelukis biasa”.

Gembala, karya Henk Ngantung koleksi Galeri Nasional

Gembala, karya Henk Ngantung koleksi Galeri Nasional

 

 

 

 

 

 

 

.

Namun sesungguhnya ia bukan pelukis biasa. Dialah yang, ketika menjabat Wagub, merancang lambang Kota Jakarta yang terpakai hingga kini. Lambang dengan gambar Tugu Nasional dalam perisai segi lima, yang merupakan “pernyataan pemuliaan terhadap dasar falsafah negara Pancasila”. (ibid. 163)

Lambang DKI Jakarta, karya Henk Ngantung

Lambang DKI Jakarta, karya Henk Ngantung

 

 

 

 

 

 

 

.

‘Si anak Bogor’ telah ‘memperindah’ pembangunan Kota Jakarta lewat citarasa estetika dan keterbukaan pada kemajuan. Lebih lagi, ia menunjukkan bahwa kepemimpinan yang amanah mutlak ditunjang nalar yang sehat dan kreativitas tinggi. Karena hanya dengan itu berbagai kepentingan warga yang plural dapat dipenuhi secara adil.

Henk Ngantung, nasionalis yang lahir di Kota Bogor, juga memberi teladan bahwa pemimpin tidak boleh meninjak-injak ke bawah demi menjilat ke atas. Karena berani menjabat juga berarti siap kehilangan jabatan (beserta segala fasilitasnya)!

(*) terbit pertama sebagai Opini di Harian Pakuan Raya, Kota Bogor, pada 2 Maret 2006.

1 Maret, Hari Lahir Perancang Tugu Selamat Datang // Pameran Mikro

29 Feb

1 Maret adalah tanggal kelahiran Henk Ngantung, sang perancang ikon ruang publik dan ‘landmark kejujuran’ Kota Jakarta – Tugu Selamat Datang atau Tugu Bangsa Indonesia Menyambut Hari Depannya.

Henk Ngantung, An Artist and A Governor

Henk Ngantung, An Artist and A Governor

Kebanyakan buku menuliskan 1921 sebagai tahun kelahiran almarhum, ada juga buku mencatatkan 1927. Walau tidak sulit untuk mencari mana versi yang tepat, namun catatan berbeda itu mengingatkan pada beragamnya versi tahun kelahiran Maestro Raden Saleh, Bapak Seni Rupa Indonesia.(Janda Almarhum, pada penulis, menyebut 1921 sebagai tahun kelahiran suaminya.)

Untuk Ny. H.E. Ngantung beserta anak dan cucu, kita ucapkan ‘Selamat Hari Kelahiran Henk Ngantung’. Semoga kenangan kasih pada almarhum menguatkan langkah Keluarga Ngantung.

Aku mendengar suara / Jerit hewan yang terluka

Ada orang memanah rembulan / Ada anak burung terjatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan / Kesaksian harus diberikan

Agar kehidupan bisa terjaga.

Kutipan puisi Rendra berjudul ‘Kesaksian’ di atas, yang dicuplik dari dalam artikel ‘Kesaksian Edhi Sunarso’ (Kompas, 14 Maret 2010, tulisan Putu Fajar Arcana dan Wisnu Nugroho), semoga meneguhkan perjuangan dan kesaksian keluarga Alm. Gubernur Jakarta dari ujung Gang Jambu, untuk Jakarta … yang lebih jujur dan berbudaya!

(Bogor-kota kelahiran Henk Ngantung, tanggal 29, bulan kedua, tahun kabisat 2012)

  PAMERAN MIKRO:

  CUPLIKAN KESAKSIAN

  SANG PERANCANG TUGU SELAMAT DATANG

.

Sketsa Revolusi Kemerdekaan, karya Henk Ngantung, 1949

Sketsa Revolusi Kemerdekaan, karya Henk Ngantung, 1949, Cat air.

.

Sketsa Kekejaman Penjajahan, karya Henk Ngantung, 1943

Sketsa Kekejaman Penjajahan, karya Henk Ngantung, 1943, Pensil.

.

Sketsa Keliling Indonesia, karya Henk Ngantung, 1949

Sketsa Keliling Indonesia, karya Henk Ngantung, 1949, Pena.

.

Sketsa Keliling Eropa, karya Henk Ngantung, 1951

Sketsa Keliling Eropa, karya Henk Ngantung, 1951, Pena.

.

Sketsa Keliling Asia, karya Henk Ngantung, 1951

Sketsa Keliling Asia, karya Henk Ngantung, 1951, Pena.

.

Terima kasih telah mengunjungi pameran mikro yang dihadirkan untuk memperingati hari kelahiran Sang Perancang Tugu Selamat Datang di Jakarta.

Dukung Keluarga Henk Ngantung untuk mendapatkan hak sosial, ekonomi dan budaya mereka.

Dukung pula upaya menghadirkan kejujuran lewat pameran karya Seniman dan Gubernur, Henk Ngantung.

Salam budaya,

D. D. Layuk Allo

(www.petisiradensaleh2005.wordpress.com)